Hari liburan telah tiba, aku memutuskan beranjak dari kota yang padat ini menuju kota yang selalu ku rindukan di tanah perantauan. Sebentar lagi waktu keberangkatan ku, aku masih setia mengamati orang-orang yang sibuk berlalu lalang dengan tas-tas tentengan, barang-barang yang dipikul, berkeringat, letih, lelah, dan mungkin sedikit memaksakan dengan sisa-sisa tenaga yang mereka miliki.
Tuuuuuuuttt, peluit panjang terdengar menandakan kereta yang akan kami tumpangi mulai mendekati tempat kami berdiri dan menanti dengan setia berjam-jam yang lalu, mungkin sebagian dari kami sudah menunggu dari pagi hari karna takut ketinggalan kereta. Berdesakan, semua tak sabar masuk ke tabung raksasa itu, entahlah mungkin mereka sudah rindu akan kampung halaman atau sudah letih menunggu berjam-jam lamanya.
Aku mendapatkan kursi 19A, tepat di samping jendela, kursi favoritku karna lewat jendela aku bisa mengamati apapun yang aku mau. Aku duduk dengan santai, menghadap jendela, sebentar lagi kereta yang kami tumpangi akan beranjak dari tempat peristirahatan sementaranya mengantarkan kami kemana pun kami mau. Kereta kelas ekonomi selalu menarik untuk diamati, aku selalu senang berada di antara orang-orang ini, menyenangkan menyimak pembicaraanya, guyonannya selalu mampu menghilangkan rasa bosan selama perjalanan.
Sekarang pukul 2 pagi dan aku masih terjaga, mengamati kedap kedip lampu yang begitu cepat, indah, dan selalu menajubkan. Aku sudah 2 tahun lamanya tak menginjakkan kakiku di kampung halamanku yang berada di seberang pulau, ah aku harus mencari-cari kegiatan agar tak merasakan tajamnya tikaman kerinduan ini.
Hey, aku hampir lupa hari ini adalah hari kelahiran ku, entahlah beberapa tahun belakangan ini sering kali lupa tanggal lahirku sendiri. Air mataku langsung mengalir begitu saja, ah dia tak minta izin terlebih dahulu padaku, dia meluncur dengan bebas tanpa permisi. Pikiranku berlari begitu cepat, bisa-bisanya pikiranku memutar memori 7 tahun yang lalu bak film drama yang sad ending, ah hari itu rasanya aku ingin mengakhiri hidupku dan berlari dari jangkauan siapapun, aku benci semuanya.
Baaar!!! Ku banting pintu kamarku, aku mengurung diriku di ruang yang kecil ini. “Aku benci padamu, aku tak pernah merasakan kasih sayang seperti teman sebayaku.” “Oh Tuhan, kenapa kau melahirkan ku di keluarga yang kejam ini?” “Apa iya dia itu Ibu ku?” “Kenapa dia begitu membenciku?” hatiku merintih dan mengutuk semua takdirku.
Seharusnya hari ini hari bahagiaku, hari ini adalah tanggal kelahiran ku yang ke 17. Semua teman sebayaku merasakannya dengan perasaan suka, kenapa aku yang harus mengalaminya. Hatiku terus mencaci, sesak terasa di dalam dada. Siang tadi kakaku membawakan aku hadiah, hadiah yang begitu istimewa, di menghadiahiku buku Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata, awalnya aku kira hari ini akan menjadi hari yang paling menyenangkan di dalam hidupku, tapi semua itu hanya mimpi yang sekejap saja semua berubah menyedihkan.
Kakaku dengan riang menelepon mamakku, “Hari ini kita masak ayam kan mak?” “Jangan lupa mamak beli ayam ya mak” Kami semua sumringah mendengar pembicaan mereka, kami mengelilingi telpon yang sengaja di loudspeaker. “Gak ada ayam, kalian pikir gampang cari uang, mamak udah seharian ke ladang, mamak cape, jangan banyak permintaan!”. Kami semua terdiam, “Tapikan hari ini wella ulang tahun mak, kan biasanya mamak masak ayam kalo kami ulang tahun?”. Kakaku mencoba mengingatkan mamak. “Emangnya kalo gak makan ayam kenapa?” “Cuma ulang tahun aja kenapa mesti merepotkan mamak, mamak gak ada uang kalo mau beli saja sendiri!”.
Bak petir di indahnya langit, ah sudahlah mungkin memang benar dia bukan ibuku, aku berusaha menghibur diriku, aku tersenyum saat hatiku benar-benar terluka. Kak tua mencoba menenangkan ku, “mungkin mamak tadi cape, mungkin harga cabe mamak murah makanya mamak marah”, aku hanya menjawab dengan senyuman.
Aku menghabiskan waktuku membaca buku yang menjadi kadoku hari ini. Ya kisahnya sangat mengharukan, tapi sayang aku tak bisa menangis karna cerita dalam novel itu, aku menangis karna sakitnya hatiku. Kakaku menghampiriku, “Kenapa dek?” “Jangan menangis lagi, besok kaka akan beli apapun yang kamu minta,” aku tersenyum. “Gak ka, ceritanya sedih, kita yang udah dibiayai mamak sekolah tapi malas sekolah, mereka harus berjuang untuk mendapatkan pendidikan.” "Oh, kukira masih nangis karna gak dibawa mamak ayam.” Kami tertawa, tapi diam-diam kami saling mengetahui luka hatiku.
"Assalamualaikum”. Mamak pulang membawa ayam dan racikan bumbu untuk besubesuri aku, agar apa yang aku inginkan kesampaian. Aku berlari, membanting pintu kamarku. Semua terdiam, biasanya ayahku akan mengomentari tindakanku, tapi hari ini tak ada yang bisa membujukku, tak ada yang bisa menghiburku. Tangisanku semakin dalam, aku berusaha untuk tidur dan menghilangkan rasa sakit ini. Aku terlelap karna letihnya menahan amarahku.
Mataku membengkak, tak seperti biasanya tak ada yang memarahiku saat bangun kesiangan, seisi rumah hening dan kosong. Hanya tinggal aku sendiri, di depan kamarku ada surat yang ditinggalkan. Judulnya “Untuk Anakku Sintengah”. Aku menangis lagi, mengingat kejadian kemarin sore, aku memutuskan untuk membencinya seumur hidupku.
“Nakku, maafkan mamak yang selalu lupa hari lahir kalian, bahkan mamak lupa hari lahir mamak sendiri. Selamat ulang tahun nakku, mamak selalu mencintaimu, di sepanjang hidup mamak, mamak ke ladang untuk kehidupan kalian yang lebih baik lagi, maafkan mamak yang menyakiti perasaanmu nak. Nyawa seorang ibu tak akan berharga saat anaknya tersakiti nak. Mamak selalu mendoakan anak-anak mamak sukses, menjadi kebanggaan mamak”.
Tangisku tak bisa berhenti, hatiku sesak dengan seribu makian, rasa di dalam hati berkecamuk tanpa ampun. Ah, berat sekali semua ini. Semalam aku bersumpah membencinya. Aku hanya bisa terdiam, memikirkan semuanya. Sejak kapan dia menyayangiku, setiap hari hanya ada amarah, setiap hari semua kesalahan dilimpahkam padaku, bagaimana bisa dia bilang dia mencintaiku. Hati dan pikiranku mencari pembenaran tentang sumpahku. “Nakku, kamu tau kamu itu seperti awan yang dapat berubah-ubah, kamu akan terbawa oleh angin yang bertiup. Kami tahu dirimu, kami mendidikmu agar kamu mampu mandiri, kami takut sekali kamu terbawa arus godaaan zaman nak, kita berbeda dengan yang lainya. Kami bukan orangtua yang sempurna, kami tak bisa memberi apapun yang kalian inginkan seperti yang lainya. Tapi kami hanya ingin kamu bisa hidup dan terus cemerlang saat kami benar-benar tak ada disampingmu.” Aku tertegun mendengar nasehat ayahku, yang mencoba menjelaskan sikap Ibuku. “Jangan pernah membencinya nak, jangan pernah sekalipun, cintai dia dengan segala kekuranganya, karna kita tak akan pernah benar benar hidup sedamai ini tanpa jerih payahnya. Coba besok kamu amati mamak dari pagi, liat mamak pagi-pagi bangun buat masak makan kita, berangkat keladang buat biaya sekolah kalian, kan udah kalian rasakan gimaa keladang. Gimanalah capenya mamak kita buat kita bahagia.” Oh, Tuhan apa yang sudah ku lakukan, seharusnya aku memahaminya.
“Assalamualaikum” “Walaikumsalam” jawabku serentak dengan bapak menjawab salam mamak. “Masih marah sama mamak nak we” dengan tersenyum yang diselimuti peluh letih seharian mencangkul. Mamak menghampiriku, memelukku, “Maafkan mamak ya anak sintengah, jangan marah lagi sama mamak, mamak sayang sama kalian semua.” Pelukanku semakin erat, dalam hati hanya bisa meminta maaf atas sumpah serapahku. “Maafkan Wella mak e, aku berjanji mulai hari ini, aku akan berusha membahagiakan mamak, mulai hari ini aku akan berusha jadi anak kebanggan mamak, itu janjiku” hanya ku ucapkan dalam hatiku.
“Mba boleh dilihat tiketnya?” Aku langsung menghapus sisa air mataku, dan menyerahkan selembar kertas yang menjadi pertanda aku penumpang di tabung raksasa ini. “Lagi galau ya mba?” Apa lagi rindu orang rumah?” Canda petugas yang masih terbilang muda itu. “Iya nih mas, lagi rindu sama mas,” sahutku, memecah heningnya subuh itu. Pagi ini aku sampaikan rinduku untuk Mamak yang selalu tahu apa yang kurasakan dan dimana anaknya berada. Ah, Terima Kasih telah mencintaiku.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co
#DearMama