Somewhere Only We Know

" Jauh di balik benar dan salah, ada sebuah padang terbuka. Kutemui kau di sana." (Rumi)

She had this amazing capacity to turn sadness into anger and anger into action, which meant nothing ever kept her down for long.

Library of Souls by Ransom Riggs
(via quotemybooks)

Buku Baru

Kuselipkan lagi di rak, satu buku baru
- tapi belum ada yang ceritanya persis seperti dirimu.


Jogja, 27 Juni 2016

Pukul 02.49 WIB.
Tidak seperti biasanya, aku mengingat banyak hal. Pun pertemuan yang akhirnya kita sudahi.

PS: ……

Umur Berpantas-pantas

Ketika menulis ini saya berumur 24 tahun. Saya lebih suka menyisipkan kata ‘baru’ di depan angka '24’ meski kebanyakan teman wanita lebih suka menyisipkan kata 'sudah’.

Suatu hari saya ditanya oleh seorang teman. Kira-kira begini percakapannya:

Teman: Eh, kamu dateng ke nikahannya si A enggak?

Saya: Wajib nggak sih?

Teman: Sepantasnya dateng. Nanti kalau nggak ada yang dateng ke nikahanmu gimana hayo.

Saya: -_-

Itulah kenapa saya lebih suka menyisipkan kata 'baru’ di depan usia saya karena saya belum rela; menyakiti kaki saya dengan memakai heels, mempersulit jalan saya dengan memakai rok lilit, tiap menit mengecek jilbab yang kemungkinan sudah terbang kemana-mana karena dililit sana-sini, dan membawa handbag emak-emak sosialita. Saya beru berumur 24 tahun dan belum.merelakan diri saya bertindak hanya sekadar untuk berpantas-pantas.

Country Corner

Halooo….
Mulai stuck lagi setelah postingan menggebu-gebu bulan Februari lalu. Maret? Saya pindah divisi, pindah kantor, pindah kost ke pinggiran kota - kota tua.

Tidak ada hubungannya dengan yang di atas tapi ini hari minggu dan saya punya 3 lagu country yang ingin sekali saya rekomendasikan. Ketiganya saya pilih acak. Jadi sejujurnya tidak ada hubungannya dengan hari minggu :p

1. Came Here to Forget
Diawali dengan ‘Girl you’re getting over him and I’m getting over her’, yap, kita sama-sama tahu lagu ini akan bercerita mengenai apa. Musik dan lirik yang ringan, ditambah dengan suara Blake Shelton, ini jadi lagu pertama yang saya rekomendasikan.

2. Used
Jika ada yang menyukai Burning House dari Cam, saya akan merekomendasikan Village. Sama halnya di sini, jika ada yang menyukai Bombshell atau The Blade dari Ashley Monroe, lagu ini patut didengarkan. Musik yang ringan dengan makna lirik yang kuat jadi poin plus.

3. Famous
Dibandingkan dengan dua lagu sebelumnya, musik di lagu ini lebih 'berisik’. Dinyanyikan oleh Kelleigh Bannen, lagu ini bergenre pop-country yang biasanya akan lebih mudah disukai banyak orang. Cerita di lagu ini mirip dengan Before He Cheats dari Carrie Underwood namun dengan musik yang lebih 'adem’ dan kesan yang tidak seserius milik Carrie.

Selamat menikmati hari minggu~

V

“Kurasa akan lebih mudah bagiku jika kami bercerai saja. Toh masing-masing dari kami tidak merasa terikat satu sama lain. Kau tahu,"katanya dengan menatapnya sejenak,"dia juga jarang pulang ke rumah dan merasa tidak berkewajiban menghubungiku sedangkan aku tidak peduli dia akan pulang atau tidak. Pernikahan ini memang sudah tidak benar sejak awal.”

“Kalau begitu aku akan menemanimu untuk mengurus ini dan itu.”

Ada persetujuan yang tak terucapkan antara mereka. Dia tahu, temannya tidak puas dengan pernikahannya. Segalanya tidak benar, sejak awal. Seperti yang dikatakannyan tidak ada keterikatan. Mereka hanya dua orang asing yang hidup serumah.

“Kau tahu, ada yang lucu dari kita. Aku belum menikah tapi kau sebentar lagi sudah akan bercerai. Kau akan bercerai dan aku baru saja dicampakkan.”

“Irwan?”

Dia mengangguk lalu meminum tehnya yang sudah mulai dingin. Malam semakin malam dan hawa semakin dingin. Mereka bisa saja terserang flu esok harinya.

“Bagaimana rasanya?”

“Sama seperti orang yang tersingkirkan,"katanya dengan tawa pelan. "Kukira aku ini lambat. Kau tahu, saat dia mengatakan itu aku tidak merasakan apa-apa. Jangan salah sangka, sekarang pun tetap demikian. Hanya saja bukan berarti aku baik-baik saja kan.”

Masing-masing terdiam. Ada banyak jenis ketidakberuntungan. Dia tahu itu sejak masih kecil, merasa tidak beruntung karena dibesarkan di keluarga yang tidak menyukainya. Pernikahan yang gagal atau hubungan yang tidak berhasil hanya beberapa ketidakberuntungan diluar ketidakberuntungan lain yang mungkin akan ditemuinya di masa depan.

“Kita benar-benar akan tidak baik-baik saja kalau duduk tanpa alas di sini semalaman.”

Mereka membereskan gelas dan toples yang mereka bawa dan membiarkan malam semakin larut.

IV

Dia pulang dengan perasaan kurang puas. Irwan bilang dia tidak ingat, dia bahkan bilang tidak ingat raut wajahnya. Dulu memang dia sama sekali tidak mengenal lelaki yang datang ke apartemen itu, tapi akhir-akhir ini dia merasa seperti pernah bertemu dengannya sebelumnya. Dia hanya menduga tapi usahanya untuk memastikan tidak berbuah apa-apa. Ada yang ganjil dan itu cukup mengganggunya. Di tengah perjalanan, dia memutuskan untuk tidak langsung pulang ke apartemennya.

Rina tidak terkejut ketika melihatnya di balik pintu. Dia tetap seperti biasanya, mengikat rambutnya tinggi-tinggi meski berada di rumahnya sendiri. Namun rumah adalah tempat pertempurannya yang ia rasa kemudian, justru lebih aneh kalau temannya menggerai rambutnya.

“Kurasa aku bisa berkunjung sewaktu-waktu, kali lainnya.”

Mereka di dapur, membuat minuman untuk masing-masing. Temannya sekaligus menyiapkan dua toples kecil makanan yang bisa digunakan untuk teman minum teh mereka.

“Kau mau duduk di luar?”

“Di beranda? Malam-malam begini?” Temannya mengangguk yakin. “Well, kalau memang itu maumu.”

Mereka berbagi cengiran. Temannya meraup kedua toples sedangkan ia membawa teh panas, beriringan menuju beranda. Di sana mereka duduk menghadap halaman belakang yang cukup luas.

“Aku baru sadar kalau rumahmu benar-benar luas.”

“Kau boleh ikut tinggal di sini kalau mau.”

“Kenapa? Karena suamimu tidak pernah di rumah?” Dia bisa melihat temannya tersenyum samar di kegelapan. Ia melanjutkan,“Seharusnya kau yang pindah ke rumah yang lebih kecil, bukan mengajakku untuk pindah ke sini. Tapi harus kuakui, halaman belakang rumahmu terlihat menyenangkan dilihat malam-malam begini meski aku tidak bisa bohong kalau lantai yang kita duduki ini rasanya dingin.”

Mereka tertawa tertahan, sama-sama mengakui bahwa duduk tanpa alas dan kaki yang menginjak rumput hanya memberikan efek dramatis.

“Mel, bagaimana menurutmu kalau aku bercerai saja?”

III

Usai menghubungi Irwan, ia beranjak untuk menyalakan lampu, berjalan hati-hati berusaha agar tidak terantuk sesuatu. Begitu ruangannya diterangi lampu, ia bisa melihat buku yang tadi dibacanya tergeletak di bawah meja juga ada tumpahan teh di atas meja. Satu persatu ia membereskan ruangan itu; mengembalikan buku ke tempatnya dan mengelap meja yang terkena tumpahan sekaligus membawa gelasnya ke bak cuci piring. Ia akan mencucinya nanti ketika sudah pulang.

Dia sudah berada di dalam taksi, dalam perjalanan menuju tempat yang disebutkan Irwan untuk bertemu. Jalanan padat, taksi berjalan lambat. Tapi dia tidak merasa terganggu. Itu justru bagus untuknya. Mungkin kemarin lusa ia sempat merindukannya, menunggunya menghubunginya, tapi sekarang ia bahkan tidak terlalu ingin menemuinya. Ada hal lain yang merisaukannya, yang menggelitik ingatannya.

Irwan sudah datang lebih dulu, duduk dengan dua gelas minuman di meja. Untuk waktu yang lama ia sibuk dengan pikirannya hingga tidak begitu memperhatikan Irwan. Ketika ia menanyakan kabarnya, ia hanya mengangkat bahu, tidak begity tahu harus menjawab bagaimana.

“Sebenarnya ada yang ingin kusampaikan….”

Dia menunggu.

“Tentang hubungan kita….Aku tidak tahu tapi kurasa bukan hal yang bagus kalau kita tetap meneruskannya.”

Dia tahu Irwan belum selesai bicara. Dia masih menunggu dengan tenang sekaligus berusaha memfokuskan pikirannya pada percakapan mereka malam ini karena entah mengapa beberapa bagian dari dirinya tidak berada di tempatnya sekarang.

“Istriku hamil dan kurasa sudah sepantasnya aku…kau tahu…..”

Irwan berhenti bicara sampai di situ. Dia sudah mengerti benar apa yang dimaksudkan. Yang mengherankan, dia tidak merasakan kesakitan seperti yang pernah dibayangkannya. Dia hampir tidak merasakan apapun. Mungkin karena dia sudah pernah mengira hal ini akan terjadi atau mungkin alasan lain di luar alasan yang telah dipikirkannya.

“Kau baik-baik saja kan?"tanyanya setelah jeda panjang.

"Ya, kurasa tak masalah.”

Kemudian dia beralih memandang deretan kafe yang ada di seberang jalan, pada lampu-lampu yang menerangi, pada beberapa orang yang berjalan di trotoar. Pembicaraan sudah selesai tapi risau yang mengikutinya sejak tadi belum berkurang. Dia merasa ada sesuatu yang terlewat, suatu petunjuk yang ia yakini itu penting.

“Irwan, lelaki yang datang ke apartemen waktu itu, apakah matanya berwarna cokelat?”

II

Dirinya yang masih anak-anak memakai terusan berenda sore itu. Dia berdiri sendirian di tanah lapang yang tidak dikenalnya. Langit merah. Dia harus segera pulang karena hari mulai gelap. Tergesa-gesa dia berjalan tanpa tahu kemana jalan akan membawanya.

Langit semakin merah. Deretan rumah kumuh di kirinya membuatnya takut. Rumah kayu yang reyot dengan beberapa kain kusam tergantung di depannya. Beberapa rumah menggantung lentera dengan nyala api temaram di depan. Awalnya hanya rumah-rumah kosong. Namun ketika ia berjalan lebih jauh lagi, masih dengan langkah tergesa-gesa, beberapa orang terlihat duduk di depan rumah mereka. Mereka orang-orang tua dengan keriput aneh dan tatapan marah di mata mereka. Mata mereka sama merahnya dengan langit di atas sana. Dia tidak butuh alasan lagi untuk tidak merasa lebih takut.

Dengan kepala tertunduk dia mempercepat langkahnya, nyaris berlari. Kemudian entah darimana tangannya digenggam oleh seorang anak laki-laki yang sangat dikenalnya, menariknya untuk ikut berlari. Kakinya terasa berat namun dia berusaha agar tidak tertinggal terlalu jauh. Orang-orang tua dengan mata merahnya yang menakutkan satu persatu mulai keluar dari rumah mereka. Ada yang membawa obor, yang lain membawa pacul dan arit. Dia merasa orang-orang itu akan membakarnya sehingga dia berusaha berlari secepat yang dia bisa.

Kemudian ada tembok yang harus mereka panjat untuk bisa keluar dari situ. Tidak ada jalan lain. Anak lelaki itu sudah naik lebih dulu, duduk di atas tembok yang cukup tinggi, mengulurkan tangannya agar bisa membantunya yang sudah kepayahan naik. Orang-orang tua dengan mata merah mereka semakin dekat. Setelah melompat beberapa kali dengan putus asa, ia bisa menjangkau tangannya. Dengan bantuannya akhirnya dia bisa memanjat tembok dan keluar dari pemukiman kumuh itu. Dia mengajaknya pulang ke rumahnya. Namun anak lelaki itu menggeleng pelan dan hanya tersenyum samar. Dia melihat kesedihan di matanya ketika ia akhirnya berjalan pulang sendirian.

Dia terbangun. Sekali lagi ia memimpikan hal itu. Tubuhnya berkeringat dan jantungnya berdegup kencang. Ia masih merasakan ketakutan yang disisakan mimpinya. Dia berdiam diri cukup lama hingga pelan-pelan detak jantungnya kembali normal. Ketika itulah ia sadar bahwa hari sudah gelap. Ruangan tempatnya sekarang juga gelap karena dia belum menyalakan lampu sebelum ketiduran tadi. Dia meraba handphone di meja di sampingnya untuk mengecek pukul berapa sekarang.

“Sudah hampir jam tujuh, tidak heran sudah gelap,"batinnya.

Ada satu pesan yang masuk. Dari Irwan.

"Apa kau ada waktu malam ini? Kalau iya, hubungi aku segera. Aku ingin bertemu denganmu.”

Bagian 4 - I

Hujan mulai jarang turun di hari-hari berikutnya. Langit cerah dari pagi hingga petang. Teman-teman di kantornya sudah mulai merencanakan perjalanan ke sana dan ke sini dengan si A atau si B.

Pertunangan adiknya-adik tirinya-berlangsung di hari yang telah ditentukan. Dia tidak datang seperti yang sudah ia putuskan. Di hari tersebut neneknya meneleponnya, sekedar menanyakan kembali keputusannya. Diam-diam dia bersyukur neneknya tidak mendesaknya lebih jauh.

Seharian itu ia terus berada di dalam apartemennya, beralih dari memasak, menonton film, dan membaca. Dia sudah menghuni apartemen itu sejak awal kuliah, neneknya yang membelikannya. Belakangan dia menyimpulkan alasan wanita tua itu membelikannya apartemen supaya dia bisa segera keluar dari rumah yang tidak disukainya. Dalam beberapa hal, ia merasa wanita tua itu cukup baik. Ia satu-satunya yang mau bicara dengannya meski berbicara dengannya juga tidak mulus dan tidak selalu menyenangkan.

Wanita tua yang ia sebut nenek adalah ibu dari pihak ayahnya. Dari pihak ibunya, dia tidak mengenal siapapun. Dia juga tidak mengenal ibunya. Tidak ada yang pernah menyebut siapa nama ibunya, seperti apa dia, atau apakah dia masih hidup atau tidak. Ibu tirinya-sekarang ia menyebutnya demikian-pernah begitu marah padanya hingga membuatnya bersumpah serapah. Darinya ia tahu kalau ibunya adalah selingkuhan ayahnya.

Di hari bebasnya seperti sekarang dia kerap teringat masa kecilnya. Dirinya tidak mengerti, mungkin kondom begitu mahal kala itu hingga ayahnya yang kaya tidak sanggup beli. Ibunya mungkin lebih cantik dibanding ibu tirinya, atau setidaknya ia memiliki suatu hal yang tidak dimiliki oleh ibu tirinya. Kalau saja ibu tirinya tahu mengenai hubungannya dengan Irwan, mungkin dia akan berkata bahwa ia memilik bakat seperti yang dimiliki ibunya. Lalu dia akan tersenyum simpul tiap kali pikiran itu muncul. Dunia tempatnya tinggal memang aneh; dirinya dibentuk oleh masa lalu orang yang tidak dikenalnya.

Tiba-tiba dia rindu Irwan. Baru sekali dia dihubungi sejak pertemuan mereka yang terakhir. Namun ia hanya menghela napas dan membuka bukunya kembali. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu.